Just another free Blogger theme

adst


Pengikut

https://rppguruman2022.blogspot.com/

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 18 Oktober 2025

 Refleksi diri sebagai pendidik saat mendidik anak didik mau pun anak sendiri.








Mendidik dengan tegas dan disiplin itu sebuah keharusan, namun kekerasan baik fisik maupun verbal bukanlah disiplin, melainkan pelampiasan ketidakberdayaan.


Mengapa meluapkan emosi terasa lebih mudah?

Karena itu adalah jalur refleks, bukan jalur refleksi.


Meluapkan Emosi itu seperti membuang air dari gelas yang penuh. Instan, cepat lega. Tapi dampaknya berantakan, dan gelas itu akan kosong tanpa menyelesaikan masalah.


Menyadarkan dengan Pikir itu seperti membangun saluran irigasi. Butuh perencanaan, tenaga, dan kesabaran. Hasilnya tidak instan, tetapi air akan mengalir tepat ke sasaran dan memberi manfaat jangka panjang.


Lalu, bagaimana caranya beralih dari yang "mudah" tapi merusak, ke yang "proses" tapi membangun?


Strategi Mendidik Tegas Tanpa Kekerasan:


1. Ganti "Hukuman" dengan "Konsekuensi"

       Hukuman bersifat emosional dan sering tidak relevan (contoh: tidak mengerjakan PR disuruh lari kelapangan). Tujuannya membuat jera, tapi seringkali menimbulkan rasa dendam.

Konsekuensi bersifat logis dan edukatif (contoh: tidak mengerjakan PR harus menyelesaikan dan menjelaskannya kepada guru pada waktu istirahat). Tujuannya adalah memperbaiki kesalahan dan belajar bertanggung jawab.


2. Regulasi Diri Dulu, Baru Intervensi anak didik

       Saat emosi memuncak, ambil jeda. Tarik napas dalam-dalam. Katakan pada diri sendiri, "Saya orang dewasa yang profesional. Saya bisa mengendalikan ini." Bahkan, Anda bisa jujur pada siswa, "Ibu/Bapak butuh waktu sebentar untuk berpikir tenang mengenai hal ini." Ini justru mengajarkan mereka cara mengelola emosi.


3. Fokus pada Perilaku, Bukan pada Pribadi

       Katakan: "Tindakan mencontek ini tidak jujur," bukan "Kamu anak yang tidak jujur."

Serangan pada pribadi melukai harga diri dan membekas lama. Kritik pada perilaku membuka pintu untuk perbaikan.


4. Gunakan Komunikasi "Saya" (I-Message)

       Daripada: "Kamu selalu berisik! Dasar tidak bisa diam!"

       Cobalah: "Ibu merasa terganggu ketika kelas berisik, karena Ibu sulit menjelaskan materi. Ibu butuh kalian semua untuk mendengarkan."

Formulanya;  Perasaan Anda + Perilaku spesifik mereka + Dampaknya. Ini mengurangi sikap defensif.


5. Cari Akar Masalahnya dan Beri Pilihan

       Seorang siswa yang mengganggu mungkin bosan, butuh perhatian, atau tidak memahami pelajaran. Tanyalah, "Ada yang bisa Ibu bantu? Kenapa kamu melakukan itu?"

Beri mereka pilihan yang bermartabat. "Kamu bisa mengerjakan tugas ini sekarang, atau kita selesaikan berdua nanti pada waktu istirahat. Mana yang kamu pilih?"


6. Koneksi Sebelum Koreksi

       Siswa tidak peduli dengan seberapa banyak Anda tahu, sampai mereka tahu betapa Anda peduli. Bangunlah hubungan yang tulus. Teguran dari guru yang mereka rasakan peduli akan jauh lebih didengar daripada teriakan dari guru yang dianggap tidak acuh.


Memang, semua ini butuh energi ekstra, kesabaran, dan latihan. Itu adalah investasi. Investasi untuk menciptakan ruang belajar yang aman dan hormat, tempat di mana disiplin lahir dari kesadaran, bukan dari ketakutan.


Yuk, menjadi guru/pendidik yang reflektif, yang memilih untuk "naikkan level, bukan naikkan suara". Itulah yang membedakan seorang pendidik dari sekadar pengajar. 




Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar