Just another free Blogger theme

adst


Pengikut

https://rppguruman2022.blogspot.com/

Total Tayangan Halaman

Minggu, 25 Mei 2025

 MARBOT ITU TERNYATA CEO



Penulis: Lea 


Calon Imam



Aku batal dari niat buruk membatalkan puasa karena kehausan. Entahlah, berubah semangat gini jadinya, habis lihat keceriaan anak-anak yang mau ngaji ntar sore. Ah, habis lihat guru ngajinya maksudnya. Ananda.


Jadi sering kepikiran gadis itu. Bayangannya melintas-lintas tanpa permisi di kepala. Bikin senyum-senyum bayanginnya. Nggak terkontrol gini, heran juga. Padahal kalau dilihat, dia gadis yang biasa aja tapi seperti punya kharisma atau ehm inner beauty atau apalah namanya. Kayaknya beda aja sejak pertama lihat. Beda dari wanita lain. Sesuatu yang, ah! Pokoknya jadi kefikiran aja. 


Sesuatu yang menarik perhatianku.


Apa mungkin ini hanya cara Tuhan nyelamatin aku dari niat ngebatalin puasa di hari pertama? Atau justru suatu pertanda soal rasa? Entah. Aku jadi senyum-senyum lagi kan. Ih, kalau ada yang lihat gini bisa-bisa aku dikira marbot gila. 


Aku meneruskan . Ini benar-benar keluar dari zona nyaman dan menjemukan di kehidupan nyataku. Nyoba hidup baru di kasta terendah sebagai seorang suruhan. Menantang. 


Hampir siang, Ustadz Yahya datang. Sesuai janji, bawain iqro' buat ngajarin aku ngaji. Suasananya pas banget, lagi sepi-sepinya. Jadi bisa konsentrasi belajar dan nggak malu-maluin kalau dilihat orang. 


Lihat orang tua sholeh ini, jadi ingat putrinya yang kutemui pagi tadi, Ananda. Sambil belajar sambil cari info boleh kan? Eh. Atau pura-pura giat supaya dapat kesan positif, dari bapaknya dan dari anaknya.


Di awal, Ustadz Yahya mengingatkan agar aku senantiasa meluruskan niat.


"Innamal a'maalu binniyaat... Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya menuju pada Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” Pria dewasa yang kutaksir berusia 60 tahunan itu menunjukkan satu hadist lagi padaku.


Aku menyipitkan kedua mata. Berfikir. Maksud dari hadist ini. Menarik, menurutku.


Hijrah karena dunia dan wanita yang ingin dinikahi?


"Begini. Niat itu ibarat peluru. Dia akan mengena persis dimana arah ia ditujukan. Kalaupun melesat, tak mungkin jauh dari arah mula sasaran. Kalau arah tujuan kita menembak adalah satu buah di pohon, maka kemungkinan yang kena satu buah di pohon itu saja. Lain kalau tujuan kita adalah menembak pohonnya. Kena pohonnya artinya kena semua. Otomatis dapat buahnya, batangnya, daunnya, semuanya. Itu kan namanya sudut pandang. Niat itu begitu. Makin besar niat kita, makin besar power yang akan kita keluarkan. Makin lurus tujuan kita, makin hati-hati kita akan menjaga diri pada perlintasan." Ustadz Yahya menutup kitab yang ia pegang. Sambil meletakkan petunjuk mengaji di hadapanku.


"Kembali ke hadist tadi. Jangan pernah niat berhijrah karena dunia atau sebab wanita. Karena mereka bukan tujuan. Tujuan kita adalah Allah dan Rasul-Nya. Maka jangan salah menempatkan sejak dalam niat. Niat hijrah karena wanita misalnya, dapat wanitanya, terus selesai? Segitu saja? Jangan. Niatkan ingin hijrah lurus karena Allah. Maka tempatkan dunia di genggaman sebagai kendaraan, lalu letakkan wanita atau pendamping hidup kita sebagai teman berjalan mencapai tujuan. Sederhananya, kita harus menempatkan dengan benar, mana teman di perjalanan, mana kendaraan, mana tujuan. Jangan sampai teman jadi tujuan atau sarana yang hanya kendaraan jadi tujuan, malah tujuan sebenarnya hilang dari peta niatan. Faham?" 


Aku terdiam. Menyimak dalam ketersindiran. Baru saja aku memang berfikir begitu. Ah, bukan baru saja, selama ini aku memang seperti itu. Jadiin dunia ini sebagai tujuan untuk hal apapun. Lalu lupa sama tujuan sebenarnya hidup ini sendiri. Ya, ini ternyata yang bikin aku ngerasa jenuh dan hampa, hidup kayak nggak punya tujuan sebenarnya. Begitukah?


Tiba-tiba merasa kayak seseorang yang baru disadarkan dari amnesia. 


Kali kedua, ngerasa seperti ini hari ini. Padahal baru hari kedua jadi marbot di sini.


"Karena apapun niatnya, capeknya sama, yang beda cuma hasilnya dan rasanya, juga pahalanya. Maka jangan rugi-rugiin diri. Niat yang benar, supaya hasilnya juga benar."


Aku mengangguk. Walau belum faham sepenuhnya.


Lalu mulai mengaji mengikuti Ustadz Yahya. Baru belajar ngaji usia segini. Dulu pernah sih, waktu kecil, hanya sekilas lalu. Orangtuaku dari dulu lebih fokus nyariin aku guru les Bahasa Inggris dan pelajaran akademik yang bakal menunjang karir masa depanku dibanding mikirin pelajaran agama kayak gini.


Beberapa kali aku salah membaca, Ustadz Yahya menegur dan membenarkan.


Tapi di akhir, ia memuji sungguh-sungguh. Mengatakan aku cepat sekali menguasai pelajaran. Cepat mengingat. Untuk urusan kali ini, kurasa tidak perlu aku menutupi kepintaranku. Aku terbiasa menghafal rumus-rumus dan menghubungkan satu demi satu kemiripan kejadian dalam kasus-kasus bisnis. 


Mungkin sebab itu, pembelajaran iqro' seperti ini pun lebih mudah kufahami. Dari menghafal huruf-huruf, menganalis kemiripan tanda baca dan seterusnya. Karena otakku memang sudah terpola untuk berfikir, menghafal, dan menganalisa dengan cepat. Aku, seseorang yang terpelajar. Tentu otakku cukup terasah untuk mempelajari segala ilmu baru.


Kesimpulanku, ternyata belajar huruf-huruf Al Qur'an ini menarik, unik, dan asik. 


"Semangat belajar membaca Al Qur'an nya ya, Kang. Sebab Al Qur'an itu tuntunan utama kehidupan. Dan laki-laki itu calon imam keluarga. Calon imam bagi istri dan anak-anaknya. Tanggungjawabnya besar, nggak cuma tanggungjawab nafkah lahir bathin, tanggungjawab membimbing dalam ketaatan juga masuk dalam pengertian imam, kepala keluarga."


Deg!


Ketiga kali, tersindir banget gini. 


Aku terdiam.


"Jadi calon imam, harus giat belajarnya. Terutama pasal agama. Nggak ada alasan enggaknya. Allah menjanjikan, laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik. Ini hukum alam." Ustadz Yahya tersenyum tipis.


Aku kembali menelan segala hal asing yang masuk serta merasuk ke dalam hati tanpa permisi sejak aku tiba di tempat ini.


Aku hanya menunduk, dengan sikap khas seorang marbot. Lalu berjama'ah sholat dzuhur. 


Belajar hari ini, hari pertama, terlalui dengan sukses yang cukup membuat lega sekaligus menarik penasaranku lebih jauh jadinya.


Nggak kerasa, setengah hari sudah puasa. 


---


Aku makin memahami semua tugasku di sini. Melayani segala kebutuhan di rumah ibadah. Dan ini akan semakin meningkat selama bulan Ramadhan seperti ini. 


Sekitar pukul tiga sore, aku bergegas keluar, berinisiatif membeli air mineral gelasan yang sudah hampir habis stoknya. Kata Ustadz Yahya, di bulan ramadhan, setiap hari akan banyak jama'ah yang berbuka puasa di masjid. Jadi aku bertugas mempersiapkan.


Kubawa langkah menuju toko besar di ujung jalan. Berjalan kaki saja. Sekaligus refreshing, melihat-lihat daerah sini. Selain karena di sini aku juga tak memiliki kendaraan.


Beberapa kali berpapasan dengan orang-orang, pria dan wanita. Dan aku tahu mereka sedang memperhatikanku, pria bertompel ini. Bahkan bisik-bisik beberapa gadis kudengar di kejauhan. 


"Dari belakang kirain cowok ganteng. Badannya kayak oke banget. Ternyata dari depan, tompelan. Hihi."


"Iya. Sama. Aku kira juga."


"Hus, puasa! Jangan ngomongin orang."


"Itu yang marbot baru Masjid Almira Tiga kan?"


"Oh iya, iya."


Aku pura-pura tak mendengar. 


Baru akan menyeberang di persimpangan, pandangan mataku terpaku menatap ke seberang jalan sana. Di bawah pohon. Netraku menangkap seraut wajah yang beberapa kali melintas di kepala sejak awal jumpa.


Seorang gadis berdiri dengan raut lelah dan senyum yang menghias wajah, dengan peluh yang nampak nyata di keningnya. Di tengah terik, panas-panasan. Membawa nampan berisi kue-kue yang ditutupi koran. Menawarkan pada orang-orang. 


Ananda.


Apa yang dia lakukan?


Aku menghentikan langkah, memperhatikan. 


Beberapa orang memilih kue, lalu ia membungkus kue-kue yang dipilih. Sigap mengambil uang yang diserahkan lalu memberikan kembalian. 


Dia berjualan kue?


Sampai beberapa saat, aku masih berdiri di seberang jalan. Memperhatikannya dari kejauhan. Sampai hampir ashar dan ia membereskan sisa kue-kuenya ke dalam keranjang sepeda lalu beranjak menuju ke arah masjid.


Aku tahu, dia akan mengajar mengaji sore ini. 


Gadis itu, kenapa rasanya aku semakin tertarik ingin tahu?


Ananda. Apa kusapa saja?


---


Bersambung

Sejarah Perkembangan Pesantren Cipasung dari Masa ke Masa








  Pondok pesantren Cipasung terletak di Jalan KH Ruhiat, Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Singaparna, Jawa Barat. Pesantren ini memiliki jarak tempuh kurang lebih 280 kilometer dari Jakarta dan ditempuh sekitar enam jam. 

Pesantren Cipasung didirikan oleh KH Ruhiat, pada akhir tahun 1931. Semula, santri yang menetap di pesantren ini berjumlah kurang lebih 40 orang. Sebagian santri tersebut adalah mereka yang ikut dari Pesantren Cilenga, tempat Kiai Ruhiat menempa ilmu.


Di samping itu, ada pula santri kalong yang hanya mengaji pada malam hari dan siangnya kembali ke rumah. Mereka adalah warga yang tinggal di sekitar komplek Cipasung. (Tadzkirat Buku Panduan Mukimin Mukimat Pondok Pesantren Cipasung, 2018).


Sebagai pembinaan agama terhadap anak-anak usia muda, pada 1935 didirikan sekolah agama atau madrasah diniyah. Sekolah inilah yang paling pertama didirikan di Pondok Pesantren Cipasung.


Seiring berjalannya waktu, para santri telah tumbuh menjadi dewasa. Lalu Kiai Ruhiat mendirikan Kursus Kader Mubalighin wal Musyawirin (KKM), pada tahun 1937. Kursus ini dibuat sebagai wadah santri dewasa untuk latihan berpidato, dakwah, dan musyawarah yang diadakan pada setiap malam Kamis. 


Tak hanya itu, pada 1943 Pesantren Cipasung juga memberikan wahana latihan bagi santri putri. Dibuatlah Kursus Kader Mubalighah agar santri putri dapat mengembangkan bakat pidato dan berdakwah. 


Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945, Kiai Ruhiat semakin mengembangkan pendidikan di lingkungan Pesantren Cipasung. Hal ini dibuktikan dengan didirikannya sekolah formal di Pesantren Cipasung. 


Lembaga pendidikan yang didirikan di Pesantren Cipasung pasca-kemerdekaan adalah Sekolah Pendidikan Islam (SPI), pada 1949. Di sekolah ini, selain pendidikan agama, juga diberikan pula berbagai pengetahuan umum. Lalu pada tahun 1953, sekolah ini berubah nama menjadi Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI). 


Di tahun yang sama, didirikan pula Sekolah Rendah Islam (SRI) yang kemudian berubah menjadi Madrasah Wajib Belajar (MWB) dan kini berubah lagi menjadi Madrasah Ibtidaiyah (MI). Sebagai kelanjutan dari MI dan SMPI, didirikan juga Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI), pada 1959. 


Tak berhenti di situ, Kiai Ruhiat juga mendirikan dan membuka Perguruan Tinggi Islam (PTI) dengan Fakultas Tarbiyah, pada 25 September 1965. PTI Cipasung ini merupakan perguruan tinggi Islam pertama yang dibuka di Jawa Barat, bahkan sebelum ada Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. 


Kemudian, Yayasan Pondok Pesantren Cipasung akhirnya dibentuk pada tahun 1967. Yayasan ini dibentuk dengan tujuan untuk mengikat dan mewadahi semua kegiatan pesantren. Lalu pada 1969, didirikan Sekolah Persiapan IAIN yang pada 1978 berubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Pada tahun 1970, didirikan Fakultas Ushuluddin filial Cipasung. Namun dengan adanya pemusatan ke induknya, maka fakultas ini hanya berjalan selama dua tahun. 


Kiai Ruhiat, Pendiri Pondok Pesantren Cipasung itu kemudian wafat pada 28 November 1977. Tampuk kepemimpinan pesantren diteruskan oleh salah seorang putranya, yakni KH Moh Ilyas Ruhiat. Berbagai perkembangan pesantren pun dilanjutkan. 


Selanjutnya, Kiai Ilyas mendirikan Biro Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (BP2M) pada tahun 1982. Pada tahun ini, didirikan pula Koperasi Pondok Pesantren Cipasung. Tak hanya itu, masih di tahun yang sama, Kiai Ilyas juga mendirikan Fakultas Syariah sebagai pelengkap Fakultas Tarbiyyah yang sudah ada sebelumnya. Dalam perjalanannya, Kiai Ilyas menambah Fakultas Dakwah. Lalu nama PTI Cipasung diubah menjadi Institut Agama Islam Cipasung atau IAIC. 


Pada 1992, didirikan Madrasah Tsanawiyyah (MTs) Cipasung. Lalu, pada 1997 Sekolah Tinggi Teknologi Cipasung (STTC) pun berdiri. Selain itu, didirikan juga Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Cipasung pada 1999. 


Di tahun 2000, dibuka Program Pasca-Sarjana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Kelas Khusus Cipasung. Namun, dengan adanya larangan kelas jauh, maka pada tahun 2010 Kelas Khusus Cipasung UII Yogyakarta terpaksa harus dibubarkan. Selanjutnya, pada 2003, didirikan Taman Kanak-Kanak Cipasung yang pada 2018 diubah namanya menjadi Taman Kanak-Kanak Islam Siti Aisyah Cipasung. 


KH Moh Ilyas Ruhiat wafat pada 2007. Perjuangan untuk mengembangkan pesantren diteruskan oleh KH Dudung Abd Halim sebagai Pimpinan Pondok Pesantren Cipasung. Lalu pada 2011, ia mendirikan Program Pasca-Sarjana di IAIC dengan Program Studi Pendidikan Bahasa Arab. Pada tahun itu didirikan pula Sekolah Menengah Kejuruan Islam (SMKI) Cipasung.


Pada awal tahun 2012 KH Dudung Abd Halim wafat dan dilanjutkan oleh KH Abun Bunyamin Ruhiat sebagai Pimpinan Pondok Pesantren Cipasung hingga kini. Pada tahun 2012, dibuka Program Studi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) pada Program Pasca-Sarjana IAIC. 


Penulis: diperoleh dari berbagai sumber media online